Senin, 21 Februari 2011

Usaha Tani Tak Cukupi Kebutuhan Hidup

Usaha pertanian pangan tak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga petani meski mereka sudah bekerja sangat keras. Belasan juta rumah tangga pertanian masih harus mencari penghasilan lain yang jauh lebih besar daripada penghasilan mereka sebagai petani

Demikian hasil perbincangan Kompas dengan sejumlah petani sepanjang Minggu hingga Senin (21/2) dari Karawang hingga Cirebon, Jawa Barat, dan Tegal, Jawa Tengah.


Sepanjang jalan pantai utara Pulau Jawa itu, lahan-lahan sawah tampak sedang menghijau, bahkan sebagian mulai panen. Namun, ternyata usaha tani pangan, seperti padi, jagung, dan tanaman palawija, yang mereka tekurii tidak memberikan hasil mencukupi. Untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup harian pun tidak cukup. Mereka harus mengusahakan peternakan, memelihara ikan air tawar, menjadi kuli bangunan, mengojek, menjadi makelar, atau menambah luas garapan dengan cara menyewa lahan.

Tidak jarang pekerjaan sebagai petani sekadar menjadi sambilan karena memberikan kontribusi pendapatan yang jauh lebih kecil atau sekadar memberikan jaminan ketersediaan pangan keluarga. Pekerjaan utama justru di luar pertanian.

Menurut Tasrip Abubakar (50), Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTD Kabupaten Cirebon, puluhan ribu petani di Cirebon mengolah lahan seluas 40.000 hektar. Sekitar 60persen adalah petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga petani atau petani penggarap. Sekitar 30 persen memiliki 0,5-1 hektar dan hanya 10 persen yang memiliki lahan di atas 1 hektar.

Lahan kurang dari 0,5 hektar per rumah tangga pertanian itu tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dahulu, petani cukup hidup hanya dengan bertani karena lahan mereka luas dan kebutuhan hidup belum besar. Sekarang, dengan hanya mengandalkan usaha tani padi serta satu pekerjaan sampingan juga belum cukup.

"Bahkan, sampingan petani bisa tiga, empat, atau lima jenis usaha Itu juga cuma pas-pasan hidupnya." kata Tasrip yang juga Ketua Kelompok Tani Geger Karya Binangun Desa Cibubut, Kecamatan Gegesik, Kabupaten Cirebon.

Perhitungannya, dengan memiliki lahan 0,5 hektar, pendapatan kotor petani padi hanya Rp 7,5 juta. Apabila dipotong biaya produksi Rp 2 juta, tinggal Rp 5,5 juta. Uang Rp 5,5 juta itu untuk memenuhi kebutuhan hidup selama empat bulan.

Petani sekarang harus kreatif. Tasrip sendiri tergolong petani kreatif dan berlarian luas. Di belakang rumahnya di Desa Cibubut, Tasrip memiliki sawah pribadi 3,5 hektar. Selain itu, ia juga menggarap lahan sewa seluas 20hektar. Sekitar 40 hari lagi padinya akan dipanen.

Ia juga punya empat kolam ikan masing-masing 400 meter persegi, memelihara entok dan ayam, juga pernah memelihara kambing. Ada juga tambahan penghasilan dari usaha jasa pemancingan. Dengan berbagai tambahan usaha itu, Tasrip dapat menguliahkan anak sulungnya dan menyekolahkan dua anaknya yang masih SMA dan SMP.

Waki] Ketua HKTI Jawa Barat Maskub Buntoro (67), misalnya, yang hanya punya lahan 1 bahu (0,7 hektar) dari warisan orang-tuanya di seputar Kecamatan Plumbon, Cirebon, mengaku tak bisa mengharap banyak dari sawahnya yang digarap orang lain itu. Selain dipotong biaya produksi Rp 3 juta, ia juga harusmembagi seperlima penghasilan dari sawahnya itu dengan peng-garapnya. "Pertanian tanaman pangan baru bisa berdampak ekonomis jika lahan Iebih dari 5 hektar," katanya.

Ketua Gabungan Kelompok Tani Sumber Tani. Desa Tegalsa-wah. Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang, Iyah Rasim (40) mengatakan, pendapatannya sebagai petani padi dengan lahan 0,5 hektar hanya cukup memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya selama dua bulan. Itu pun kalau harga gabah 20 persen di atas harga pembelian pemerintah seperti sekarang.

Mengacu sensus pertanian terakhir tahun 2003, jumlah rumah tangga pertanian nasional 24,9 juta, sedangkan di Jawa terdapat 13,6 juta rumah tangga pertanian. Dari jumlah itu, sebanyak 10,2 juta rumah tangga per-tanian memiliki lahan kurang dari 0,5 ha yang setiap tahun jumlahnya bertambah. Melihat data itu. jelas jumlah petani yang terbelit kemiskinan besar.

Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional 2008, dari total angkatan kerja nasional di sektor pertanian 41 juta orang, sekitar 52 persen tidak memiliki lahan sendiri.

Terhadap fenomena itu. Guru Besar Ekonomi Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar menyatakan, pendapatan petani dari usaha tani padi saat ini hanya mampu menyumbang kebutuhan hidup 40 persen. Untuk bisa sekadar bertahan hidup, petani harus mengandalkan usaha lain.

Meski pendapatan dari usaha tani padi hanya mampu memenuhi kebutuhan hidup 40 persen, Badan Pusat Statistik mencatat nilai tukar petani terus naik. Nilaitukar petani merupakan rasio indeks harga yang diterima petani terhadap yang dibayar.

BPS mencatat nilai tukar petani tanaman pangan pada Januari 2011 sebesar 100,04 atau naik 0.41 dari Desember 2010 yang hanya 99,63. Ini berarti indeks harga yang diperoleh lebih besar dari yang dibayar untuk memenuhi kebutuhannya.

Hermanto menjelaskan, sempitnya lahan pertanian membuat petani sulit sejahtera. Untuk itu perlu pengembangan industri pengolahan hasil pertanian di pedesaan untuk memberi tambahan penghasilan kepada petani. Juga perlu dukungan infrastruktur, seperti jalan dan listrik, serta insentif bagi pengembangan industri pengolahan hasil pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar